Minggu, 19 Maret 2017

Perubahan Penyakit Menular Dan Tidak Menular Di Indonesia

             Di negara yang telah maju angka kematian menurun menyusul terjadinya
kemajuan dalam perekonomian dan teknologi. Revolusi Mortalitas di Indonesia
yang merupakan revolusi demografi pertama di Indonesia terjadi pada sekitar
tahun 1950-an. Indonesia termasuk "beruntung", karena ketika memulai usaha
penurunan kematian, di negara lain sudah tercipta teknologi untuk memirunkan
angka kematian. Indonesia dapat segera mengadopsi teknologi kedokteran
modern, seperti imunisasi dan anti biotic, tanpa menunggu kemajuan
perekonomian yang cepat.

             Transisi mortalitas dari angka kematian yang tinggi ke angka kematian
yang rendah umumnya disertai dengan transisi epidemiology, yaitu bergesernya
jenis penyakit penyebab kematian. Penyakit menular merupakan penyebab
kematian paling banyak pada saat angka kematian masih tinggi yang
pengobatanya biasanya hanya memerlukan teknologi kedokteran yang relatif
"sederhana" dalam ukuran zaman sekarang. Contoh penyakit tersebut:
tubercoluse dan diare. Namun, ketika angka kematian sudah rendah penyebab
kematian tidak lagi disebabkan karena penyakit Infeksi, tetapi lebih disebabkan
oleh penyakit degeneratif (penyakityang berhubungan dengan penurunan fungsi
organ tubuh karena proses penuaan, seperti penyakit jantung, kanker dan
tekanan darah tinggi). Kelainan jiwa dan kecelakaan.

             Dalam bahasan ini, penyakit dikelompokkan menjadi penyakit menular
dan bukan menular. Beberapa penyakit yang tergolong penyakit dipteri, pertusis,
campak malaria, dan HIV/AIDS. Penyakit tidak menular antara lain termasuk
kardiovaskuler (penyakit yang berkaitan dengan jantung), kelainan dan
gangguan perintal, neoplasma, bronchitis, asma, emfisema, kelainan hati,
penyakit susunan syaraf, komplikasi kehamilan / persalinan, serta cedera
kecelakaan.

             Pengukuran kecenderungan angka kematian di Indonesia selama ini
didasarkan suatu asumsi bahwa terdapat suatu hubungan yang konsisten antara
besaran dan pola kematian bayi dan anak di suatu pihak dengan besaran dan
pola kematian dewasa di pihak lain. Para pakar demografi Indonesia biasanya
menggunakan suatu model matematis dari Coale-Demeny. Seperti model
matematis lainya (yang berkenaan dengan kematian), peningkatan (penurunan)
angka kematian bayi selalu bersamaan dengan peningkatan (penurunan) angka
kematian dewasa. Dengan kata lain, data empiris yang digunakan untuk diskusi
kematian di Indonesia semata di dasarkan pada data empiris untuk kematian di
bab ini dipusaykan pada data empiri angka kematian bayi.

             Angka kematian bayi (IMR) Indonesia mengalami penurunan dari 142 per
1000 kelahiran. (menjelang tahun 1971) menjadi 70 per 1000 kelahiran
(menjelang tahun 1990). Ketika angka kematian bayi masih di atas 100—
biasanya disebut tahap soft rock penyebab kematian masih didominasi oleh
penyakit menular. Sampai akhir tahun 1970-an Indonesia masih berada pada
tahap shaft rock, namun, Di Yogyakarta sudah lepas dari tahap shqft rock pada
akhir tahun 1960-an, dengan IMR sebeasar 93. saat ini (1995-2000) Di
Yogyakarta sudah memiliki angka kematian bayi di bawah 30-an yang disebut
dengan tahap hard rock, yang harus dicapai oleh propinsi lain mulai periode
2000-2005 (lihat table 5.1). di DI Yogyakrta penyebab kematian tidak lagi
didominasi oleh penyakit menular, tetapi oleh penyakit degeneratif yang secara
kedokteran memerlukan teknologi pengobatan yang lebih canggih, kelainan jiwa,
dan kecelakaan.

             Di antara tahap shaft rock dan tahap hard rock terdapat tahap
intermediate rack. Banyak propinsi di Indonesia, dan Indonesia secara
keseluruhan, kini berada pada tahap lintermediate rock. Di tahap ini, penyebab
kematian merupakan gabungan penyakit menular dan penyakit degeneratif,
kelainan jiwa, serta kecelakaan. Table 5.1 memperlihatkan pengelompokan
propinsi menurut ketiga tahap ini pada periode 1990-1995 dan proyeksi hingga
2020-2025. Nusa Tenggara Barat merupakan satu-saumya propinsi yang masih
berada di tahap shaft rock pada tahun 1990-1995.

             Namun, perlu disebutkan bahwa pada angka kematian bayi di bawah 30
pun muncul penyakit infeksi yang mematikan. Akhir-akir ini kita menemuhi
penyakit HIV/AIDS yang belum ada pengobatanya, dan penyakit ini termasuk
kelompok penyakit menular, walau (untungnya) penyebaran infeksi ini melaluhi
cara yang sangat khas, dan tidak melaluhi udara, air atau makanan.
Dipihak lain, ebagai akibat revolusi fertilitas dan mortalitas, jumlah
penduduk lansia(60+) meningkat dari sekitar 7,9 juta pada tahun 1980 menjadi
kira-kira 11,3 juta pada tahun 1990, dan diperkirakan menjadi kurang lebih 12,8
juta pada tahun 1995, dan 17,7 juta pada tahun 2005, serta 28,8 juta pada tahun
2020. jumlah 17,7 juta penduduk lansia pada tahun 2005 mirip dengan dua kali
jumlah penduduk UKI Jakarta terdiri penduduk lansia. Pada tahun 2020 jumlah
penduduk lansia di Indonesia mirip jumlah propinsi Jawa Tengah pada tahun
1990 bila semua penduduknya lansia.

             Diare merupakan penyakit penyumbang terbesar terhadap kematian pada
tahun 1971, 1989 dan 1986. walau pada tahun 1986 diare masih merupakan
penyumbang terbesar, namun prosentasenya telah menurun dari 18,8% pada
tahun 1980 menjadi 12,0% pada tahun 1986. Persentase ini teras menurun
menjadi 8,0% pada tahun 1992. pada tahun 1992 penyakit penyumbang
terbesar (16,5%) terhadap kematian. Presentase penyakit kardiovaskuler
sebagai penyebab kematian pada tahun 1992 kira-kira tiga kali lipat persentase
pada tahun 1971.


Pada tahun 1971 dan 1980 penyakit radang saluran pernapasan
menjadi penyumbang kedua dalam penyebab kematian di Indonesia.
Sumbangan penyakit lain seperti tuberkulosa dalampenyebab kematian,
cenderung meningkat penyakit yang juga mangalami kenaikan dalam
persentase:cedera dan kecelakaan, bronchitis/asma serta difteri, pertusis dan
campak.






sumber : http://elisa.ugm.ac.id/user/archive/24280/40f47c4cb0b057bcc2cd9bbe4045f735

Tidak ada komentar:

Posting Komentar